Kisah Nyata: Dua Sahabat Ini Berjanji Akan Menikah di Umur 30, Namun Nyatanya . . .

Kisah Nyata Dua Sahabat

Kisah Nyata: Dua Sahabat Ini Berjanji Akan Menikah di Umur 30, Namun Nyatanya . . . – Kita tak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di hari esok. Itulah salah satu misteri hidup yang teramat mengerikan jika kita memikirkannya secara mendalam.

Kenyataannya, tak semua orang siap dengan hari esok. Tak semua orang siap menerima sesuatu yang mungkin tak pernah terpikirkan sebelumnya. Hal ini juga terjadi pada seorang pria di Amerika Serikat beberapa tahun yang lalu.

Ia berbagi kisahnya dan kemudian menjadi viral di media sosial. Awal mulanya begini. Di Amerika Serikat, para remaja memang sering membuat candaan mengenai “Janji Pernikahan”. Biasanya Janji Pernikahan tersebut diresmikan oleh sepasang teman atau sahabat.

Isinya kira-kira seperti ini: “Kalo lu dan gue masih jomblo pas kita berumur 30 tahun, kita berdua yang bakal menikah.” Banyak di antara anak-anak muda di AS dan Eropa membuat perjanjian semacam itu untuk sekedar bercanda. Hal itu memang sudah biasa bagi mereka, terlepas dari benar atau tidaknya mereka akan menikah nantinya.

“Janji Pernikahan” itu ternyata dialami oleh seorang pria dan membagikan kisah nyatanya yang kemudian viral di internet.

Dalam sebuah forum online, seorang pengguna membuat sebuah thread sebagai sarana untuk mengumpulkan momen-momen lucu sekaligus untuk bernostalgia dengan masa lalu.

Pengguna tersebut berharap agar pengguna lainnya bersedia membagikan cerita serunya dengan topik “Janji Pernikahan” ini. Ia membuat thread yang berjudul “Adakah di antara kalian yang benar-benar menikah dari hasil janji pernikahan “kalau kita masih jomblo di umur (….) ? Bagaimana prosesnya?”

Seorang pengguna pun meresponnya dan inilah kisah nyata dua sahabat yang akan membuatmu berpikir lagi tentang hidup ini:

Kisah Nyata Dua Sahabat: Janji Pernikahan

Mungkin sudah terlambat untuk tidak dipendam, namun aku punya kisah mengenai hal ini. Kami bertemu di kampus, dan dengan cepatnya kami menjadi sahabat. Ketika itu aku berumur 20 tahun dan dia 18 tahun. Kami selalu bersama sepanjang waktu, dan berpacaran dengan singkat, namun kami tidak pernah berpacaran secara resmi karena kami begitu liar dan ingin bebas dalam menikmati masa muda kami.

Kami berpacaran dengan orang lain, kerap berganti-ganti pasangan. Kami berdiskusi dan setuju bahwa hubungan dengan komitmen antara kami berdua hanya akan sia-sia saja. Karena tidak ada di antara kami yang ingin meninggalkan hedonistik dan gaya hidup yang kacau, kami membuat persetujuan di mana kami tidak ingin berkomitmen pada suatu hubungan yang serius.

Beberapa tahun kemudian dengan hubungan yang seperti itu, kami menjalani hari-hari dengan sangat bahagia, hingga dua orang saudarinya tewas dalam sebuah kecelakaan mobil. Dua orang saudarinya itu masing-masing berumur 16 dan 18 tahun ketika itu dan tewas seketika dalam kecelakaan tersebut. Sahabatku tentu saja merasa hancur total.

Teristimewa ayahnya, ia berhari-hari tidak makan merasakan kesedihan tersebut. Ia bahkan merasa lebih baik mati kelaparan ketimbang harus tetap menjalani hidup pasca peristiwa tersebut. Sahabatku itu pun pulang ke rumah ayahnya (sebelumnya ia merantau) untuk merawatnya. Ia memutus hubungan dengan semua orang, menjaga jarak, bahkan denganku.

Aku tidak melihatnya lagi selama dua tahun semenjak itu. Dia begitu berubah. Sebelum kecelakaan tersebut, dialah orang yang paling riang, ceria, dan positif yang pernah kukenal. Setelahnya, dia menjadi sangat pendiam, sangat tertutup, terlihat sangat murung dan mungkin menjadi lebih bijak dan dewasa.

Aku ingin berada di dekatnya lebih dari apapun yang aku inginkan di dunia ini. Ketidakmampuanku untuk memperbaiki keadaan antara aku dan dia dantidak mampu membuat keadaan menjadi lebih baik begitu menyakitkan bagiku. Kurasa, saat itulah aku sadar betapa aku mencintainya.

Aku memberi tahunya bahwa aku mecintainya, aku ingin berada di dekatnya, dan ia memberitahuku bahwa ia tidak ingin terlibat hubungan emosial dengan siapa pun untuk sementara. Mungkin dalam beberapa tahun ke depan, katanya. Mungkin, dia tidak akan pernah terbuka untuk hubungan emosional lagi.

Dia bilang, dia butuh jarak denganku. secara khusus denganku. Dia bilang dia butuh waktu untuk mencari tahu apa artinya menjalani hidup setelah kedua saudarinya meninggal. Ia memintaku untuk memberinya waktu, dan aku bilang bahwa aku akan memberikan apapun yang ia inginkan.

Dia berkata dia tidak pernah merasa sebahagia dulu saat kami berdua menghabiskan waktu bersama. Aku pun berkata demikian. Aku bilang bahwa aku mengerti, dan saat itulah kami membuat “janji”. Ketika itu usiaku 25, dan ia 23.

Kami setuju bahwa: saat ia berusia 30 dan aku 32, jika keadaan emosionalnya telah pulih, jika ia tidak jatuh cinta dengan orang lain hingga 30, dan aku juga demikian, maka kami akan menikah. Saat itu jugalah kami berpisah.

Dia pindah ke Wyoming, menyendiri di sana. Aku pindah ke Jerman, untuk menjauh sejauh yang aku bisa darinya. Awalnya kami tidak menghubungi satu sama lain, namun beberapa tahun setelahnya kami mulai surat-menyurat. Kami saling menyurati karena kami berdua memang suka menulis surat. Kami kemudian melanjutkannya dengan email.

Terkadang kami saling mengirimkan buku yang kami pikir akan disukai oleh satu sama lain. Bertahun-tahun setelahnya, kami pun menjadi lebih dekat. Ketika aku berumur 30 tahun, aku setengah bercanda mengungkit “Janji Pernikahan” kami.

Aku bilang bahwa aku belum mencintai siapa-siapa (aku tidak bilang padanya bahwa aku memang tidak bisa mencintai orang lain. Aku selalu membandingkan setiap wanita dengannya, dan dalam ingatanku, dia itu sempurna). Dia bilang bahwa dia sangat serius dengan “Janji Pernikahan” kami. Dia juga mengaku bahwa dia tidak mencintai orang lain.

Aku bertanya padanya apakah dia sudah mulai pulih. Dia bilang sudah, sebagaimana seseorang akan pulih (dari trauma) setelah mengalami kejadian seperti yang ia alami. Setahun berikutnya, dia mengajakku untuk bertemu dan menghabiskan waktu bersama lagi, untuk melihat apakah yang dulu kami alami saat menghabiskan waktu bersama masih ada di antara kami. Dan memang, masih ada.

Dia tinggal di California ketika itu, dan aku pun menemukan pekerjaan di sana. (Lagipula aku selama ini memang ingin sekali tinggal di California).

Enam bulan kemudian, aku melamarnya. Dia tersenyum padaku dan merengek sembari berkata “tidak adil”, dan berkata bahwa harusnya aku menunggu enam bulan lagi, setelah ia berumur 30 tahun. Aku rasa itu konyol, namun pada titik itu keadaan berjalan dengan sangat baik dan (menunggu) beberapa bulan sepertinya tidak masalah sama sekali. Tapi aku menangis sekarang, jadi aku harus mengakhiri (cerita) ini sekarang.

Dia meninggal. Begitulah akhir ceritanya. Dia ditabrak oleh pengendara yang sedang mabuk dan menghabiskan waktu selama dua hari di ICU, namun raganya tak mampu bertahan. Aku pergi ke pemakamannya. Aku berbincang dengan ayahnya tapi aku tidak bisa ingat dengan jelas apa yang kami bicarakan ketika itu. Aku tidak pernah berbicara lagi dengan ayahnya semenjak itu. Aku bahkan tidak punya tekad untuk menanyakan bagaimana kabarnya.

Kejadian itu harusnya sudah empat tahun yang lalu di bulan November tahun (2016) ini, Aku sedang menjalani terapi saat ini dan mencoba untuk belajar mencintai lagi, ketimbang perasaan kosong, tak ada arti, dan menyedihkan.

Aku sering berpikir, apakah seperti ini perasaan yang ia rasakan ketika ia kehilangan dua saudarinya. Ia membuat kemajuan. Ia belajar untuk mencintai lagi. Pikiran itulah yang membuatku untuk terus berjuang memulihkan keadaanku. Dia berhasil. Dia mungkin ingin aku juga bisa berhasil.

Itulah. Itulah ceritanya. Sebuah cerita yang buruk dan aku membencinya.